Selasa, 02 April 2013

WAJAH SANTUN SANG RASUL

WAJAH SANTUN SANG RASUL
Oleh :
AHMAD FAOZAN, S.Ag
Guru PAI dpk pada SDN Kebulen III Jatibarang Indramayu
Diposkan oleh Majalah Media Pembinaan Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Barat, Februari 2010
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS. 68 : 4)
“Akhlaknya adalah al-Quran” (Aisyah, Ummahatul Mu minin)
            Saat Rasulullah pertama kali merintis jalan Islam, beliau masih sendiri, hanya Ali bin Abi Talib, sepupunya, yang menemani. Kala itu, Rasul sedang berunding dengan Ali untuk mengadakan jamuan. Ada persoalan penting yang hendak dibicarakan. Undangan ditujukan untuk keluarga besar Abdul Mutalib. Ali diminta menjadi panitia pelaksana.
            “Wahai Ali, tolong masakkan sup kambing. Buat sekalian roti gandum. Selepas itu tolong jemput semua ahli keluarga Abdul Muttolib” Pinta Rasul kepada Ali.
            Tak berapa lama, Ali menjalankan tugasnya. Ali mengkoordinasi para pembantu membuat makanan. Ia sendiri kemudian keluar menyebarkan undangan jamuan.
            Tak berapa lama para tamu mulai berdatangan ke rumah Rasul. Mereka disambut dengan hangat dan mesra. Tegur sapa dan obrolan ringan seperlunya menambah meriah suasana.
            Setelah semua tamu tiba, Rasul pun menghidangkan makanan. Tak kurang dari 30 orang yang datang. Mereka adalah anak keturunan Abdul Muttolib. Rasulullah sendiri bila ditelusuri nasabnya termasuk cucu Abdul Mutollib, Kakek bijaksana penjaga Ka’bah itu.
            Roti dan sup kambing menjadi menu istimewa. Para tamu makan sepuas-puasnya hingga kenyang. Senyum dan keriangan tampak pada wajah mereka. Rasul melayani mereka dengan baik, menghidangkan  dan menuangkan gelas-gelas mereka dengan air susu.
            Usai acara makan-makan, Rasul pun mengutarakan maksud undangannya. Beliau angkat bicara:
            “Wahai ahli keluarga Abdul Mutolib, sebenarnya saya ini diutus oleh Allah untuk mengajak saudara-saudara secara khusus dan umumnya bagi semua manusia, supaya percaya pada Allah. Saudara sekalian pun sudah melihat tanda-tanda kenabian pada diri saya. Oleh sebab itu siapakah di kalangan saudara yang hendak bersumpah setia, menjadi saudara dan sahabat saya?”
            Sebagian besar tamu tercengang dengan perkataan Rasulullah.
            “Wahai Muhammad, harapanmu terlalu besar dan berat. Tak ada yang mampu melakukannya”. Sahut salah seorang kerabat Rasul.
            “Betul wahai Muhammad”.  Balas yang lain.
            Lalu Ali pun bangkit. Dia adalah keluarga Abdul Muttolib yang paling muda di majelis itu.
            “Saya bersumpah menjadi saudara dan sahabat tuan, wahai utusan Allah”, kata Ali.
            “Saudara duduk dulu”. kata Rasul kepada Ali sambil melambaikan tangannya.
            Rasul mengajak lagi seluruh keluarga yang hadir. Beliau mengajak mereka menganut Islam.
            “Siapakah di antara kalian yang hendak bersumpah setia, menjadi saudara dan sahabat saya?”. tanya Rasul lagi.
            Ali pun bangun kembali. “Saudara duduk dahulu”. Kata Rasul kepada Ali.
            “Siapakah di kalangan saudara yang hendak bersumpah setia, menjadi saudara dan sahabat saya?. Kali ketiga Rasul bertanya. Dan tetap saja, hanya Ali yang bangun.
            Lalu Nabi Muhammad menjabat tangan Ali. Ali pun mengucapkan janji setianya kepada nabi Muhammad.
            Perjamuan akhirnya usai. Para tamu dipersilakan pulang oleh Nabi tetap dengan ramah walaupun mereka menolak seruan nabi.
            Cara seperti ini terus dilakukan Rasulullah hingga hijrah ke Madinah. Baru di kota inilah Islam disambut dengan suka cita oleh penduduknya. Lambat laun Islam berkembang bahkan menjadi mayoritas di Madinah.
            Dengan kondisi yang tidak lagi minoritas, ternyata Rasulullah tetap dalam jalur yang sama. Beliau mengajarkan Islam penuh dengan kehangatan, kasih sayang dan sikap toleransi terhadap pemeluk agama lain. Beliau tetap santun dalam berdakwah, tanpa paksaan apalagi ancaman. Tetap hidup berdampingan walaupun berbeda keyakinan.
            Dengan kondisi yang hampir sama dengan kota Madinah pada masa Nabi, penduduk negeri kita terdiri dari berbagai macam keyakinan. Tapi di sini kita sering mendengar orang-orang yang mengaku muslim menyematkan cap “kafir”, murtad atau sesat pada orang-orang yang  dianggap berbeda keyakinan atau aliran, bahkan terhadap saudara-saudaranya yang seiman. Mereka juga melakukan perusakan dan pembakaran tempat-tempat ibadah. Termasuk memaksa agar mengikuti keyakinan yang mereka anggap paling benar.
            Minoritas keturunan Tionghoa, jemaat aliran Islam atau suku-suku di pedalaman negeri ini yang memiliki keyakinan atau agama yang tidak termasuk agama atau aliran kepercayaan yang diakui negara, adalah contoh yang sering menjadi korban.
            Padahal Al-Quran yang dibawa sang Nabi mengajarkan bahwa
            “Wallahu a’lamu biman dholla an sabilih”        
             Allah-lah yang lebih mengetahui mana orang yang telah tersesat dari jalan-Nya.
            Di ayat lain, Al-Quran juga menegaskan:
            Yudillu bihi man yasyaa wa yahdii bihi man yasya”
            Dialah Allah yang menyesatkan orang yang Ia kehendaki dan memberi petunjuk orang yang Ia kehendaki (pula).
            Maka wajar, ketika meyakini bahwa hanya Tuhan yang dapat meluruskan dan menyesatkan, manusia berdoa: Ihdinassirotol mustaqim” Tunjukkanlah kami jalan yang lurus. Kita semua akrab dengan doa ini. Sehari semalam paling tidak kita mengucapkannya 17 kali. Rasanya kita hanya terus mencari jalan dan berharap bersungguh-sungguh bahwa jalan yang kita tempuh adalah jalan yang menuntun kita ke jalan mustaqim. Kita memang tak tahu, tapi kita terus berharap.
            Islam yang dibawa nabi adalah Islam yang damai dan menebarkan kasih terhadap sesama. Pembawanya pun, Nabi Muhammad, berwajah santun dan ramah. Rasulullah tak pernah dikenal sebagai lelaki pemarah atau mengajarkan kekerasan. Banyak yang mencoba mengejek, menyakiti, dan melukai, tapi Rasulullah menanggapinya tidak dengan kemarahan. Bahkan beliau kadang membalasnya dengan kasih berlebih.
            Suatu ketika, Si Badui berbuat kasar kepada nabi. Kala itu Rasulullah sedang berjalan bersama Anas bin Malik, pembantunya yang kemudian banyak meriwayatkan hadis. Tiba-tiba Si Arab Badui menarik selendang Najran yang dikalungkan di leher Rasul. Begitu kerasnya tarikan si Badui, Rasul pun tercekik. Anas, seperti tercatat dalam Shahih Bukhari, sempat melihat bekas guratan di leher Rasul. “Hai, Muhammad, beri aku sebagian harta yang kau miliki!”. bentak si Badui, masih dengan posisi selendang mencekik leher rasul.
            Barangkali bila dalam posisi Rasul akibat perilaku si Badui yang mirip preman ini, kita pasti akan naik pitam. Tapi tidak dengan Rasul. Beliau justru tersenyum dan berkata pada Anas, “Berikanlah sesuatu kepadanya!”.     
            Di kala lain, beliau bahkan mendapat lebih kejam dari itu. Saat sedang sujud dalam salatnya, Nabi pernah “dihadiahi” kotoran hewan pada punggungnya. Abdullah bin Mas’ud menjadi saksi, seperti terrekam dalam Shahih Bukhari. Ibnu Mas’ud melihat Nabi tengah sembahyang dekat ka’bah. Pada saat yang sama Abu Jahal dan gerombolannya duduk-duduk tak jauh dari situ.
            “Siapa yang mau membawa kotoran-kotoran kambing yang disembelih kemarin untuk ditaruh di atas punggung  Muhammad, begitu ia sujud?” Abu Jahal berseru pada punakawannya. Satu dari mereka, yang tak lain Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Al-Walid bin Utbah, Umayyah bin Khalaf dan Uqbah bin Abi Mu’ith, itu bergegas mengambil kotoran. Mereka menunggu hingga nabi sujud.
            Dan benar, ketika Nabi sujud, ditaruhlah kotoran itu di antara bahu Nabi. Abu Jahal, Punggawa Quraisy yang selalu berupaya menghancurkan nabi, dan gerombolannya menyaksikan dengan tertawa keras. Nabi tetap dalam sujud hingga Fatimah Az-Zahra membersihkan sembari meneteskan air mata. Tapi Nabi bukan sosok pemarah atau pendendam. Beliau tidak pernah memerintahkan sahabat untuk membalas perlakuan Abu Jahal dan gerombolannya. Nabi hanya berdoa, “Allahumma alaika bi Quraisy, alaika bi quraisy, alaika bi quraisy”.
            Terlalu mulialah Nabi saw untuk sekedar dihinggapi kesumat. Al-Quran menyebut Nabi sosok yang rauf dan rahim, sosok welas asih dan penyayang (QS. 9 : 128). Nabi pun seolah tak mampu untuk sekedar membekap rasa sayangnya pada tetangga yang rutin menghina dan melecehkannya itu, seorang perempuan tua. Setiap kali lewat di samping rumah perempuan tua itu, nabi selalu mendapat sambutan, kadang sampah busuk, kadang pecahan beling. Begitu selalu, berhari-hari.
            Suatu hari, “sambutan” perempuan tua absen. Nabi bertanya-tanya, kenapa perempuan yang biasa memberinya “sambutan rutin” itu berhenti. Dari tetangga si perempuan itu, Nabi mendapat kabar bahwa si perempuan itu sedang sakit. Nabi masuk ke rumah perempuan tua itu. Untuk membalasnya? atau sekedar kata pedas untuk bikin jera? ah, ternyata tidak. Nabi justru memperlakukan perempuan itu seperti sahabat, melayani bahkan memasakkan air untuknya.
            Karenanya, masih pantas mengaku muslimkah kita bila kita menampakkan wajah garang dengan mengacungkan kayu, pedang dan batu seraya berteriak menyebut nama Tuhan dan Rasul bersamaan dengan merobohkan bangunan-bangunan tempat ibadah orang-orang yang dianggap berbeda dengan kita? masih pantas mengaku pengikut Rasulkah kita ketika menganggap telah berjihad setelah melakukan tindak kekerasan pengeboman?
            Wajah welas asih dan santun Rasul telah coreng moreng akibat perlakuan kita. Ah….. nabi yang pemarah hanya ada di benak mereka. Wajahnya yang sangar hanya selintas gambaran bagi mereka. Tapi……. Oh…. Bukankah kita? Sadarkah kita, ternyata tanpa sengaja (?) diam-diam kita telah, sedang dan masih berniat menoreh raut Rasulullah dengan sketsa wajah garang dalam karikatur Jyllands Postan itu? Astaghfirullah……  
            Marilah kita jadikan momentum Maulid Nabi sebagai awal kita melanjutkan hidup dengan penuh kedamaian, sikap santun dan welas asih, hingga Islam menjadi rahmat bagi semesta sebagaimana Rasul mengajarkan. Wa Llahu a’lam (dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar