Jumat, 25 Oktober 2013

TERNYATA MEREKA (JUGA) BISA.. Pembelajaran Bermakna Menjadi Guru Pengganti



TERNYATA MEREKA (JUGA) BISA..
Pembelajaran Bermakna Menjadi Guru Pengganti

Ketika murid dapat mengaitkan isi dari  mata pelajaran akademik dengan pengalaman mereka sendiri, mereka menemukan makna dan makna memberi alasan untuk belajar
(Elaine B Johnson, Contextual Teaching and Learning)

Perencanaan yang Tidak Terpakai Lebih Baik daripada Pelaksanaan tanpa Perencanaan
Beberapa  hari ini, sekolah saya sedang kekurangan guru.  Ada 2 guru yang mengikuti PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru), yaitu ibu guru kelas 5 dan 6. Jadilah teman-teman guru yang masih ada di sekolah mendapat tambahan tugas untuk mengisi kekosongan di kelas 5 dan 6, termasuk saya.
Suatu hari, saya tidak memiliki jam tatap muka bidang studi yang saya ampu. Saya masuk ke kelas 5, pelajaran matematika tanpa lesson plan. Ketika masuk, anak-anak sedang mengerjakan tugas yang telah diberikan guru lain (ibu guru ini harus meninggalkan kelas karena mengajar di kelas lain). Mereka mendapat tugas mengisi LKS berbentuk pilihan ganda. Ada beberapa materi soal yang ditanyakan anak-anak, terutama soal-soal cerita matematika yang membutuhkan pemecahan masalah.
Saya jadi teringat tulisan Elaine B Johnson dalam  Contextual Teaching and Learning bahwa “ketika murid dapat mengaitkan isi dari  mata pelajaran akademik seperti matematika, ilmu pengetahuan alam dan sejarah, dengan pengalaman mereka sendiri, mereka menemukan makna dan makna memberi alasan untuk belajar”. Dalam kenyataannya, anak-anak ternyata merasa kesulitan mengerjakan materi soal cerita yang sebenarnya sangat akrab dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Saya coba selidiki buku-buku catatan siswa. Saya melihat, isi catatan mereka sebagian besar berisi materi matematika angka-angka, yang tidak mengandung pemecahan masalah. (Mohon maaf saya berlatar belakang pendidikan di jurusan Kependidikan Islam, jadi jarang mengotak atik matematika). Maksud saya, misalnya materi yang diajarkan adalah pangkat dua, saya melihat dalam catatan mereka, mereka seringkali mendapat tugas mengerjakan materi soal seperti  112 – 82 = ... dan sejenisnya.
Kembali, saya teringat Howard Gardner, pencetus multiple intelligences. Menurutnya –seperti dikutip Munif Chatib dalam Gurunya Manusia, 2012:132) kecerdasan seseorang dapat dilihat dari dua hal. Pertama, kebiasaan seseorang menyelesaikan masalahnya (problem solving). Kedua, kebiasaan seseorang menciptakan produk-produk baru yang punya nilai budaya (creativity). Ternyata kemampuan problem solving dalam matematika tereduksi oleh soal-soal yang tidak mengandung pemecahan masalah.
 Saya coba membantu mereka mengerjakan materi soal cerita matematika sesuai kemampuan saya (bersyukur sebelum didaulat jadi guru PAI, dulu pernah mengajar dan menjadi guru kelas juga) dengan mengajak mereka berpikir, mereview materi yang sudah disampaikan guru kelas.
Selanjutnya, saya mencari contoh-contoh soal cerita berkaitan dengan materi pangkat dua. Ada 8 soal dalam buku sumber. Saya membagi soal-soal cerita ini kepada seluruh siswa. Dalam satu baris berderet, ada 7 sampai 8 siswa.  Saya menunjuk setiap siswa untuk mengerjakan 1 soal cerita. Setiap siswa yang mendapat tugas mengerjakan soal yang sama nanti akan diminta  ke depan kelas secara bersamaan menuliskan cara pemecahan masalahnya (presentasi).
Dan ternyata.... sebagian besar siswa bingung bagaimana mengerjakan 1 soal saja. Ya Allah... bagaimana ini??? Setiap siswa yang mendapat tugas berbeda mengacungkan tangan bertanya bagaimana cara mengerjakannya. Lagi, saya membimbing mereka mengerjakan tugas yang diberikan. Ada beberapa siswa yang dapat menyelesaikan dengan baik, ada beberapa siswa yang hanya menuliskan hasil tanpa menuliskan proses pemecahannya dan sebagian besar masih dalam kebingungan... termasuk saya, bingung menghadapi anak-anak ini!!!  Hingga bel istirahat berbunyi. Anak-anak bersorak, hore.... mereka bebas dari tuntutan saya mengerjakan soal cerita. Gagallah rencana meminta siswa untuk mempresentasikan tugas mereka.
Barangkali inilah pentingnya sebuah perencanaan, pun dalam pembelajaran (dadakan yang saya hadapi). Karena guru adalah profesi, artinya dia harus profesional dalam bekerja. Profesional berarti kualitas setiap tahap pekerjaan dapat terukur. Lesson plan adalah bukti kinerja seorang guru.
Saya ingin kembali masuk ke kelas ini dan belajar (matematika, materi yang bukan saya ampu) bersama mereka, mengaitkan materi akademik sesuai dengan pengalaman mereka dan mereka menemukan makna. Selanjutnya memberi mereka alasan untuk tetap belajar, seperti tulisan Elaine B Johnson di atas.
Ketika jam istirahat, saya berdiskusi dengan teman guru tentang kemampuan problem solving dalam matematika yang tereduksi oleh soal-soal yang tidak mengandung pemecahan masalah. Matematika diajarkan hanya dalam bentuk angka-angka tanpa makna. Matematika diajarkan dengan sangat abstrak, padahal sejatinya, ia amat sangat nyata, kongkret. Nyatanya, guru ini juga merasa kesulitan menghadapi siswa dalam menyelesaikan materi soal cerita yang mengaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari dan membutuhkan problem solving.

Kecerdasan itu Jamak
Keesokan harinya, giliran kepala sekolah yang masuk ke kelas lima. Ketika jam istirahat, bapak kepala sekolah mengeluhkan perilaku beberapa siswa kelas 5 yang selama ini dianggap sebagai trouble maker di kelas. Saya sudah sering mendengar keluhan guru kelas dan guru lain yang masuk ke kelas ini menghadapi perilaku siswa, seperti sering menghina guru, membuat onar di kelas, membuat anak lain menangis, tidak mengerjakan tugas, dan seabrek perilaku negatif siswa. Padahal, saya juga pada hari tertentu tiap minggu masuk ke kelas ini dan belajar bersama mereka tanpa kendala berarti. Bahkan sering mendapatkan moment special dengan anak-anak spesial ini, seperti kebiasaan mereka menyapa lebih dulu ketika bertemu, bersalaman, tersenyum, bahkan tambah giat belajar.
Andai kita sebagai guru menganggap mereka adalah anak-anak istimewa, yang memiliki kemampuan, anak-anak juara, pada bidangnya masing-masing. Karena, menurut Howard Gardner, kecerdasan itu jamak. Ia menyebutkan 9 kecerdasan, yaitu: kecerdasan linguistik,  matematis logis, visual spasial, musik, kinestetis, interpersonal, intrapersonal, naturalis dan eksistensial.
Pembelajaran Bermakna, Ternyata Mereka (juga) Bisa
Kesempatan itu datang lagi. Dua hari berselang, ketika tidak ada jam tatap muka, saya masuk kembali ke kelas 5, pas jam tatap muka pelajaran matematika. Tentu, sebelumnya saya sudah merancang pembelajaran dalam lesson plan. Beberapa bagian lesson plan saya adopsi dari Munif Chatib, pakar Multiple Intelligences, dalam sebuah workshop.  
Dalam pembelajaran pertama, judulnya “Rumah Kuat dengan Pondasi Kuat” dengan alokasi waktu 2 x 35 menit. Setelah membaca doa hendak belajar, saya memulai pembelajaran dengan menyampaikan tujuan pembelajaran pangkat dua. saya selanjutnya bercerita tentang seseorang yang hendak membuat rumah. Bagian mana yang pertama kali dibuat ketika kita membuat rumah?.. saya menuliskan jawaban siswa di papan tulis. Hingga ada siswa yang menjawab “pondasi”. Aha... tepat. (Doakan bapak ya anak-anak, juga pembaca, agar bisa segera punya rumah sendiri.. hehe..) Apa saja yang dibutuhkan dalam mebuat pondasi? Beberapa jawaban meluncur dari mulut siswa. Pasir, batu bata, semen, air, cangkul, dan lain-lain. Dan terakhir besi.. yup!! Agar rumah yang kita bangun kuat, maka kita harus membuat pondasi rumah yang kuat juga. Bagaimana bentuk rangka pondasi yang terbuat dari besi?. Coba perhatikan gambar di bawah ini!
 
                                Berapa jumlah besi yang digunakan?      4
                                4 adalah hasil perkalian dari 2 (besi atas) dan 2 (besi bawah) ditulis 2 x 2
                                2 x 2       dapat ditulis dengan 22


 
                                                Berapa jumlah besi yang digunakan?      9
                                                9 adalah hasil perkalian dari 3 (besi atas) dan 3 (besi bawah) ditulis 3 x 3
                                                3 x 3       dapat ditulis dengan 32



 
                                                Berapa jumlah besi yang digunakan?      16
                                                16 adalah hasil perkalian dari 4 (besi atas) dan 4 (besi bawah) tulis 4 x 4
4 x 4       dapat ditulis dengan 42

Pondasi rumah yang menggunakan besi lebih banyak, akan lebih kuat atau cepat rapuh?
Ya pondasi rumah yang meggunakan besi lebih banyak akan lebih kuat.
Seandainya kamu mau membuat rumah, maukah kamu membuat gambar rangka pondasi rumahmu dengan jumlah besi yang lebih banyak dari gambar di atas?
 Ayo membuat rangka pondasi rumah dengan jumlah sisi besi (atas dan bawah) 6, 7, 8, 9, dan 10.
Wow... ternyata siswa bersemangat membuat gambar rangka pondasi rumah mereka. Pun anak-anak istimewa kelas ini. Mereka bersemangat dan berlomba menjadi yang lebih dulu membuat pondasi rumah.
Waktu berjalan. Anak-anak mengerjakan tugas dengan antusias. Bahkan beberapa anak, termasuk anak-anak istimewa, membuat lebih banyak lagi gambar rangka besi rumah mereka hingga jumlah sisi besi 15. Tidak adakah kendala? Tentu, mereka sedang belajar. Kendala yang dihadapi umumnya dalam menghitung jumlah besi yang digunakan seluruhnya masih kurang teliti. Setelah dihitung ulang, mereka dapat menghitung dengan tepat.  Dan hingga akhir jam tatap muka sebelum istirahat, semua siswa sudah menggambar rangka pondasi dengan baik dan memahami pentingnya pembelajaran pangkat dua. Anak-anak pun menganggap belajar matematika itu mudah. Semua tersenyum bangga. Alhamdulillah.
Dalam pembelajaran lanjutan, saya beri judul “Ayo Segera Tutup Jendela dengan Kaca”, alokasi waktu 1 x 35 menit. Saya memulai bercerita. Setelah kalian membuat gambar pondasi rumah, rumahmu kini mulai dibangun. Hingga selesailah pembangunan rumah. Rumahmu kini sudah berdiri. Beberapa bagian rumah ternyata belum tertutup dengan rapat, seperti jendela. Jendela rumahmu ternyata belum dipasang kaca. Kamu memang sengaja membuat jendela dengan kaca berbentuk persegi. Masih ingatkah kamu bentuk persegi? Seorang siswa menjawab, “bentuk datar yang memiliki 4 sisi sama panjang”. Yups..  Maukah kamu menghitung luas kaca yang harus dipotong tukang kaca? Coba perhatikan!
                                                Jendela pertama, panjang sisinya 16 cm, berapa luas kaca yang harus
dipasang?
                                                Luas Kaca Persegi             = sisi x sisi
                                                                                                = 16 cm x 16 cm
                                                                                                = 162
                                                                                                = 256 cm2

Coba sekarang kamu hitung luas kaca persegi beberapa jendela yang memiliki panjang sisi berbeda, yaitu, jendela kedua panjang sisinya 18 cm, jendela ketiga panjang sisinya 21 cm, jendela keempat panjang sisinya 25 cm.
Respon siswa beragam. Ada siswa yang meminta membuat jendela lebih banyak, ia anak istimewa itu (wow.. dia antusias belajar!!). Saya tambah satu lagi, jendela kelima dengan panjang sisi 30 cm. Tapi jendela keempat tidak wajib dihitung karena berada di dalam ruangan. Ada siswa yang meminta menghitung 1 jendela saja. Saya katakan, seandainya kamu tidak menutup jendela rumahmu dengan kaca, maka rumahmu rawan pencurian, karena belum tertutup rapat. Ayo segera hitung luas kaca jendela persegi yang dibutuhkan untuk menutup rumahmu, sebelum waktu malam tiba.
Anak-anak menghitung luas kaca jendela persegi yang dibutuhkan untuk menutup rumah mereka. Dan...  anak-anak dapat menghitung luas kaca jendela mereka dengan tepat. Bahkan jendela kelima yang tidak wajib dihitung, tetap dihitung oleh sebagian besar siswa.
Saya membakar semangat mereka dengan mengatakan.. ayo waktu malam hampir tiba, sebelum rumahmu rawan pencurian. Jaga rumahmu dengan baik. Tutup segera jendela yang masih berlubang dengan kaca. Bahkan, siswa yang sering memiliki nilai akademik rendah pun, mampu menghitung dengan tepat. Subhanallah...
Saya belajar dari mereka, betapa pentingnya membangun hubungan emosional dengan siswa kita. Mereka pun mau belajar dengan kemauan yang tinggi bila kita memberi makna dalam pembelajaran. Saya mendapati wajah mereka tersenyum bahagia. Bahkan, ketika pembelajaran usai, semua anak-anak bersalaman. Saya katakan pada salah satu anak istimewa, “tetap semangat belajar ya!” “siap pak!!!” jawabnya dengan senyum bangga. Saya mengerti, bukan anak istimewa ini tidak mau mengerjakan tugas. Tetapi bagaimana tugas-tugas yang mereka kerjakan bermakna bagi mereka.

Mendidiklah dengan Hati
Usai pembelajaran, kembali saya berdiskusi dengan teman-teman guru dan kepala sekolah. Saya memulai percakapan, “Pak, tadi anak-anak mau mengerjakan tugas, semuanya, termasuk anak-akan istimewa”. Pimpinan kami menanggapi, “mungkin tergantung yang menyampaikan ya, pak!” Maksudnya, tergantung strategi pembelajaran yang digunakan seorang guru di kelas. Ketika guru menggunakan strategi pembelajaran yang menarik, yang memantik beragam kecerdasan yangmereka miliki, mengaitkan materi dengan kehidupan sehari-hari, menyesuaikan gaya mengajar dengan gaya belajar mereka,  anak-anak pun akan belajar dengan baik pula.
Seorang ibu guru senior ikut angkat bicara, “Anak-anak jadi seperti itu (melawan guru dan susah diatur) karena mereka mendapat perlakuan keras, bentakan, kemarahan. Coba hadapi anak-anak dengan kelembutan, tidak mungkin mereka berperilaku seperti itu”. Ia membagi pengalaman mengahadapi anak-anak dengan bijaksana.
Ya, seandainya kita sebagai  guru menyadari, bahwa mereka masih anak-anak. Masih membutuhkan banyak bimbingan dari guru. Tidak sekedar memerintahkan mereka mengerjakan tugas lalu guru bebas mengerjakan pekerjaan lain di luar kelas. Seharusnya lah guru menciptakan atmosfer kelas yang ramah.    
Sekolah mestinya menjadi “agent of change” bagi siswanya. Mengubah kondisi negatif siswa secara akademis dan moral menjadi positif. Karenanya guru dituntut untuk mendidik dengan hati, membina hubungan belajar mengajar yang akrab dengan siswa. Wallahu a’lam
                                                                                                                             Jum’at Sore, 25/10/2013                                                                                                                              @ Rumah Singgah
                                                                                                                             Jatibarang Indramayu

 

Selasa, 22 Oktober 2013

PERCAYA DIRI : MOVIE LEARNING / PICTURE AND PICTURE (PAI SD KELAS 1)

MOVIE LEARNING / PICTURE AND PICTURE

Guru memutarkan film "Paralympic olimpiade" atau menampilkan foto-foto di bawah ini

Amati gambar di bawah ini!

 
Menurutmu, sikap apa yang ditunjukkan Melvi?
Menurutmu, sikap apa yang ditunjukkan orang-orang yang berkebutuhan khusus dalam film tadi sehingga mereka mampu dan ikut serta dalam lomba?
Ya.. Percaya diri..
Apa saja ciri-ciri orang yang percaya diri?
Ciri-ciri percaya diri antara lain: yakin akan kemampuan diri, semangat, tidak mudah menyerah, tidak takut, tidak mengenal lelah, tidak putus asa, tidak mendengar perkataan orang yang kurang bagus.
Manusia diciptakan Allah dengan sempurna
لقد خلقنا الانسان في احسن تقويم
“Sungguh, kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.
(QS  At Tîn, Buah Tin (95): 4)
Bagaimana pun keadaan kita ketika kita terlahir, manusia diciptakan oleh Allah dengan kesempurnaan.
Setiap manusia memiliki kelebihan dan kemampuan yang harus terus dicari dan diasah.
Asahlah kelebihan dan kemampuanmu. Syukuri setiap karunia yang telah diberikan Allah.
Amati gambar di bawah ini.
Hee Ah Lee, terlahir dengan memiliki 4 jari, tetap percaya diri dengan menjadi pianis dunia

                                     
 
 


Nick Vujicic, terlahir tanpa lengan dan kaki, tetap percaya diri dengan menjadi motivator dunia