MENCARI MODEL ALTERNATIF PEMBELAJARAN
AL-QURAN BAGI ANAK
Oleh : Ahmad Faozan, S. Ag
Diposkan oleh Majalah Media Pembinaan Kantor Wilayah Departemen Agama
Provinsi Jawa Barat, Juli 2009
Al-Quran merupakan pedoman hidup bagi umat Islam. Oleh karena itu, di
kalangan umat Islam al-Quran telah diperkenalkan kepada anak-anak sejak
kecil. Berbagai metode membaca al-Quran telah banyak diciptakan dan
digunakan. Sebut saja misalnya Baghdady, Qiraati, Iqra’, an-Nur, dsb.
Berbagai metode ini banyak digunakan berbagai kalangan baik di TPA TPQ,
MDA bagi anak-anak, majlis-majlis ta’lim bagi muslim dewasa atau dengan
memanggil ustaz ke rumah (privat).
Permasalahannya kemudian, menurut penulis, pembelajaran al-Quran selama
ini (terutama bagi anak-anak) masih terpaku pada cara membaca
huruf-huruf al-Quran, belum menyentuh pada cara menghayati makna
al-Quran, apalagi menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kalaupun
terjemah al-Quran diajarkan, hanya terbatas pada hafalan semata.
Memang, mendidik agar anak mampu menghayati makna al-Quran bahkan
menerapkannya dalam aktivitas keseharian mereka (dan kita umat Islam)
merupakan ideal . Tetapi, sebagai pedoman hidup, seyogyanya al-Quran
diperkenalkan sejak dini sesuai dengan perkembangan psikologis anak
dengan cara-cara yang menyenangkan sekaligus mengajak mereka menyelami
firman Allah Yang Mahakasih.
Model Pembelajaran Al-Quran Jami’atul Quran
Adalah Sayyid Muhammad Husein Tabataba’i yang menjadi inspirasi bagi
ayahnya Sayyid Muhammad Mahdi Tabataba’i untuk mendirikan Jamiatul Quran
(1998), sekolah penghafal al-Quran anak-anak yang amat populer di Iran.
Ia dilahirkan di kota Qum Iran pada tahun 1991. Sejak berusia amat
belia, ia dianugerahi Allah swt sebuah kemampuan luar biasa: menghafal
seluruh isi al-Quran pada usia 5 tahun, bisa menerjemahkan arti setiap
ayat ke dalam bahasa ibunya (bahasa Persia), memahami makna ayat-ayat
tersebut dan bisa menggunakan ayat-ayat itu dalam percakapan
sehari-hari. Bahkan ia mampu mengetahui dengan pasti di halaman berapa
letak suatu ayat, di baris ke berapa, di kiri atau di kanan halaman
al-Quran. Ia disebut-sebut sebagai mukjizat abad 20. Bahkan tahun 1998,
bocah yang baru berusia 7 tahun ini mendapat gelar Doktor Honoris Causa
dalam bidang “Science of The Retention of The Holy Quran” dari Hijaz
College Islamic University Birmingham Inggris.
Kehebatan Husein memang fenomenal. Karenanya tidak mengherankan
fenomena Husein ini membangkitkan semacam histeria pada masyarakat Iran
dan kawasan Timur Tengah lainnya. Selama ini, mereka –masyarakat Iran—
(dan kita) hanya mengetahui lewat buku-buku sejarah bahwa ulama zaman
dahulu sudah mampu menghafal al-Quran pada usia dini. Kini mereka dapat
menyaksikan sendiri, hal itu dapat terwujud sekarang lewat sosok Husein.
Maka Sayyid Muhammad Mahdi pun mendirikan sebuah sekolah hafalan
al-Quran bagi anak-anak. Jamiatul Quran –nama sekolah itu- didirikan
pertama kali di jantung kota Qum, dekat rumahnya, tidak lama setelah
Husein meraih gelar Doktor HC.
Sekolah ini menjadi sangat terkenal di seantero Iran, tentu saja karena
keberadaan “the amazing child” sebagai ikonnya. Bagi sang ayah,
pendirian sekolah ini merupakan parameter untuk mengukur efektifitas
metode pembelajaran hafalan Quran yang ia temukan bagi anak-anak lain.
Metode yang diterapkan dalam pembelajaran al-Quran di sekolah ini
adalah metode isyarat tangan yang dipadukan dengan metode bermain
(demonstrasi) dan metode cerita bergambar.
Metode isyarat tangan digunakan dalam melafalkan kata per kata ayat
al-Quran. Misalnya, ketika mengajarkan ayat tentang kebersihan “Wa Llahu
yuhibbu l muttahhirin” (QS. 9: 108), maka anak diajak melafalkannya
dengan memperagakan isayat tangan. Guru melafalkan “Wa” sambil
mengayunkan tangan setengah lingkaran membentuk isyarat kata “wa”
(artinya “dan”) yang diikuti anak-anak. “Allahu” sambil menunjukkan
telunjuk ke atas (bermakna Allah). “Yuhibbu” diisyaratkan dengan kedua
tangan seolah-olah memeluk sesuatu (bermakna mencintai). “Muttahhirin”
diisyaratkan dengan memperagakan gerakan orang yang sedang
menggosok-gosok tangan ketika mandi (bermakna orang-orang yang bersih).
Begitu seterusnya dengan diikuti oleh anak-anak. Selanjutnya kata-kata
pada ayat tadi diganti dengan arti kata sambil memperagakan isyarat
tangan. Dalam bahasa Indonesia, ayat tersebut dapat diartikan dengan
“dan” (tangan membentuk setengah lingkaran), Allah (menunjukkan ke
atas), mencintai (tangan seolah-olah memeluk sesuatu), orang-orang yang
bersih (lengan tangan dogosok-gosok seperti mandi).
Metode isyarat tangan diatas dipadukan dengan metode bermain. Dengan
bermain, anak-anak diajak mengulang-ulang ayat tersebut sampai hafal.
Cara bermain, misalnya, bila jumlahnya 10 anak, sediakan 9 kursi
berderet lalu anak-anak berlomba duduk di kursi, sehingga pasti ada satu
anak yang tidak kebagian. Anak yang tidak kebagian kursi diperintah
untuk membaca ayat dan artinya, tentu saja sambil memperagakan isyarat
tangan.
Metode isyarat tangan juga dapat dipadukan dengan cerita bergambar.
Misalnya guru menyiapkan gambar anak yang sedang bermaafan dengan
temannya kemudian bercerita. Selesai bercerita, guru mengajarkan ayat
tentang perdamaian “Wa ssulhu khair” (QS. An-Nisa: 128). “Wa” (dan)
sambil mengayunkan tangan membentuk setengah lingkaran,
“sulhu”(perdamaian) sambil memperagakan saling menjabat kedua tangan,
dan “khair”(baik) sambil mengacungkan jempol.
Dengan model pembelajaran di atas, anak-anak diperkenalkan dengan dunia
al-Quran yang menyenangkan sambil menghayati makna al-Quran serta
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Al-Quran bukan lagi sekedar
huruf-huruf dengan bentuk dan bunyi yang asing bagi anak-anak. Belajar
al-Quran bukan lagi dengan memaksa anak membaca huruf-huruf asing dengan
doktrin ,”harus karena kamu beragama Islam”.
Dalam proses pembelajaran, Jami’atul Quran sangat memperhatikan beberapa
prinsip. Pertama, motivasi belajar al-Quran adalah untuk mendapat
ketenangan dalam kehidupan sehari-hari. Belajar al-Quran idealnya
adalah hamilil quran, lafzan wa ma’nan wa ‘amalan, membaca al-Quran
dengan tajwid yang benar, memahami maknanya serta menerapkannya dalam
keseharian anak didik. Belajar al-Quran adalah menyimpan kata demi kata
“surat cinta” Sang Kekasih di benak dan hati kita.
Kedua, tidak memaksa anak untuk hafal al-Quran. Karena terobsesi untuk
menjadikan anak kita menjadi anak yang “hebat”, sebagian pendidik dan
orang tua kadang lupa bahwa proses pembelajaran tidak mungkin berjalan
dengan baik tanpa kemauan dan kesadaran anak didik. Prinsip ini
berkaitan erat dengan prinsip selanjutnya, yakni ketiga, melakukan
kegiatan yang menyenangkan (joyfull). Untuk menjauhkan dari pemaksaan
namun pada saat yang sama tetap memotivasi anak agar menyukai belajar
al-Quran adalah dengan melakukan kegiatan belajar yang menyenangkan.
Keempat, belajar al-Quran dari ayat-ayat yang mudah dipahami dan
diterapkan, misalnya ayat tentang berbuat baik pada orang tua, ucapkan
salam, menjaga kebersihan. Kelima, keteladanan. Ayah Husein mengatakan :
“ bila orang tua menginginkan anaknya menjadi pencinta al-Quran dan
lebih lagi penghafal, langkah pertama yang harus dilakukan adalah orang
tua harus mencintai al-Quran terlebih dahulu dan rajin mambaca al-Quran
di rumah”.
Penerapan Model Pembelajaran Jami’atul Quran di Indonesia
Model pembelajaran yang menarik bagi anak-anak seperti di atas, tentu
saja sangat menantang bagi kita di Indonesia. Apalagi model pembelajaran
ini sangat aplicable dan menggunakan hampir seluruh kecerdasan. [Howard
Gardner mengemukakan multiple intelligences pada tahun 1983. Intinya ia
menyatakan bahwa kecerdasan manusia tidak hanya intelectual quotient
(IQ) belaka. Manusia memiliki kecerdasan majemuk, yakni kecerdasan
bahasa, logika matematik, musikal, kinestetis tubuh, spasial, naturalis,
interpersonal, dan intrapersonal].
Tentu saja, kerja sama antara pendidik, orang tua dan lingkungan sangat
penting dalam penerapannya di Indonesia. Rumah Quran di Bandung telah
beberapa tahun menerapkan model ini. Dalam catatannya, kendala yang
dihadapi adalah lingkungan yang kurang kondusif dalam pembelajaran
Qurani. Kurangnya keteladanan orang tua di rumah dan pengaruh negatif
media massa terutama televisi yang nyaris tanpa kendali.
Akhirnya kita berharap akan muncul Husein-Husein baru di Indonesia.
Anak-anak kita, cahaya-cahaya di akhirat, yang mampu mambaca al-Quran,
memahami maknanya dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu
a’lam
DAFTAR BACAAN
Hoerr, Thomas R., Buku Kerja Multiple Intelligences, Terj: Ary
Nilandari, Bandung: Penerbit Kaifa, 2007, Cet. I
Sulaeman, Dina Y., Wonderfull profile of Husein Tabatabai, Doktor Cilik,
Hafal dan Paham Al-Quran, Jakarta: Pustaka IIMAN, 2007, cet. I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar