RASULULLAH (PUN) BERHAJI HANYA SATU KALI
OLEH :
AHMAD FAOZAN, S.Ag
Diposkan oleh Majalah Media Pembinaan Kantor Wilayah Departemen Agama
Provinsi Jawa Barat, November 2009
Sabtu, 25 Zulqa’dah 10 H, Rasulullah berkemas, menyiapkan bekal
perjalanan, menyiapkan minyak wangi dan mengenakan mantel. Sebelum
berangkat, beliau mengumumkan kepada para sahabat. Tak kurang 125 ribu
orang turut serta
Selepas zuhur, Rasulullah beserta rombongan berangkat dari Madinah dan
tiba di Zulhulaifah sebelum ‘asr. Tempat ini masih berbentuk lembah.
Jaraknya dari Madinah kurang lebih 10 km. Rasululah lalu salat asar dan
tetap di sana hingga keesokan harinya.
Pagi-pagi beliau bersabda kepada para sahabat, “semalam aku didatangi
utusan dari Rabb ku yang menyatakan, “salatlah di lembah yang penuh
barakah ini dan katakan “umrah beserta haji”. Maksudnya haji yang akan
dilaksanakan ini disertai dengan umrah.
Sebelum zuhur Rasulullah mandi untuk ihram. Kemudian istrinya, Aisyah
memercikkan minyak wangi ke tubuh dan kepala beliau. Tetesan minyak
wangi itu terlihat meleleh di anak rambut dan jenggot. Rasulullah hanya
membiarkan saja dan tidak mengelapnya. Setelah itu beliau mengenakan
mantel dan selendang.
Senin, 4 Zulhijjah, dengan menunggang unta, beliau bersama rombongan
sampai di Mekkah. Perjalanan ditempuh selama delapan hari. Memasuki
Masjidil Haram, beliau langsung melaksanakan rukun-rukun haji.
Pertama-tama beliau melaksanakan tawaf ifadah, mengelilingi ka’bah, lalu
disusul sa’I (lari-lari kecil) antara Safa dan Marwa.
Pagi hari tarwiyah, Rasulullah pergi ke Mina sampai subuh. Selepas
subuh beliau menunggu mentari terbit. Lalu melanjutkan perjalanan ke
padang Arafah untuk wukuf.
Tenda-tenda sudah didirikan di sana. Perlahan Rasulullah berjalan
memasuki tenda yang sudah disiapkan. Setelah matahari tergelincir
Rasulullah menuju ke tengah padang Arafah. Sudah hadir sekitar 144 ribu
orang. Mereka menunggu khutbah yang akan disampaikan oleh Rasulullah
sore itu.
Beliau berdiri “Wahai semua manusia, dengarkanlah perkataanku! Aku
tidak tahu pasti, boleh jadi aku tidak akan bertemu kalian lagi setelah
tahun ini dengan keadaan seperti ini”.
Para sahabat terdiam. “Sesungguhnya darah dan harta kalian adalah suci
seperti kesucian hari ini…” lanjut Rasulullah. Beliau menyampaikan pesan
akan tauhid, berpegang teguh kepada Al-Quran, kewajiban salat, zakat,
haji dan kewajiban mematuhi ulil amri (pemerintah).
“Tentunya kalian bertanya-tanya tentang diriku. Lalu apa yang kalian
katakan?”
Para sahabat menjawab, “Kami bersaksi bahwa engkau telah bertablig,
menyampaikan pesan Allah, melaksanakan kewajiban dan memberi nasihat”.
Mendengar teriakan sahabat ini, Rasulullah mengacungkan jari
telunjuknya ke langit dan mengarahkannya ke orang-orang. “Ya Allah
saksikanlah, Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah”. Katanya dengan
suara keras.
Tak dinyana, usai pidato, turun ayat 3 surat Al-Maidah. “Pada hari ini
telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan Aku cukupkan atas
kalian nikmat-Ku dan aku ridai bagi kalian Islam sebagai agama kalian”.
Rasulullah membacakannya kepada para sahabat. Mereka menyambut dengan
gegap gempita. Sorak kegembiraan membahana di padang Arafah.
Namun di antara kerumunan sahabat, Umar bin Khattab malah menangis.
Sahabat di sampingnya pun heran. “Mengapa engkau menangis?” Tanya
sahabat itu.
Umar dengan suara lirih menjawab, “Sungguh, setelah kesempurnaan itu
hanya kekurangan”.
Di sudut lain, seseorang juga sedang berderai air mata mendengar ayat
ini. Dialah sahabat terdekat Rasulullah, Abu Bakar. Ia menangis karena
dengan perasaannya yang halus ia memahami bahwa dengan ayat ini tugas
Rasulullah telah selesai.
Itu artinya tidak lama lagi Sang Rasul yang dicintai akan meninggalkan
dunia, meninggalkan para sahabat. Manusia terbaik akan kembali ke
haribaan Allah SWT.
Dan hal itu benar adanya, karena sepulang haji, beliau sakit selama 13
hari hingga wafat pada 12 Rabiul Awwal tahun 11 H. Haji yang hanya
dilaksanakan Rasulullah itu kemudian disebut haji wada’, haji
perpisahan. Haji pertama dan terakhir baginya.
Sejarah mencatat, ibadah haji disyari’atkan pada tahun ke 6 H. Artinya
Rasulullah saw sebetulnya memiliki kesempatan beribadah tiga kali, namun
beliau menjalaninya hanya sekali.
Dalam pandangan fiqih, melaksanakan kewajiban ibadah haji hanya satu
kali seumur hidup. Rasulullah bersabda: “Hai manusia, Allah telah
mewajibkan haji kepadamu, maka laksanakanlah haji”. Seorang laki-laki
bertanya: “Apakah setiap tahun ya Rasulallah? Rasulullah terdiam, hingga
laki-laki itu bertanya tiga kali, lalu Nabi menjawab: “Andai kukatakan
wajib setiap tahun, maka ia menjadi wajib dan kamu tidak akan mampu
mengerjakannya”.
Keinginan umat Islam, di Indonesia khususnya, untuk melaksanakan rukun
Islam kelima ini semakin tahun semakin tinggi. Terbukti beberapa tahun
terakhir, terdapat daftar tunggu (waiting list) calon jamaah haji akibat
melebihi kuota yang ditentukan, termasuk mereka yang telah menunaikan
pada tahun-tahun sebelumnya.
Ada fakta penelitian di Indonesia, menunjukkan bahwa 4 % jamaah haji
setiap tahun adalah haji mengulang, kedua, ketiga, keempat dst. Andai
kuota haji pada tahun ini 200 ribu orang, berarti 8 ribu orang haji
mengulang dengan biaya milyaran rupiah.
Lahirnya Keputusan Menteri Agama Nomor 88 tahun 2005 tentang Larangan
Pergi Haji bagi mereka yang sudah berhaji kecuali sebagai muhrim atau
badal haji, sangatlah penting untuk penyelenggaraan haji pada
tahun-tahun mendatang dan memberi kesempatan bagi umat Islam yang mampu
dan belum menunaikan ibadah ini.
Mengacu pada ajaran Islam, ibadah dapat dikategorikan atas ibadah
qasirah dan ibadah muta’adiyah. Ibadah qasirah adalah ibadah individual
yang keuntungannya hanya dirasakan pelakunya. Sedangkan ibadah
muta’adiyah adalah ibadah sosial yang manfaatnya dapat dirasakan oleh
pelakunya bersama-sama orang lain. Dari dua kategori ini, haji termasuk
ibadah individual. Ketika ibadah individual dan ibadah sosial terjadi
pada saat bersamaan, Rasulullah pun lebih mengutamakan ibadah sosial.
Di sinilah keterkaitan kisah di awal tulisan ini, kita mungkin
bertanya: Mengapa Rasulullah saw melaksanakan ibadah haji hanya satu
kali? Sekiranya haji berkali-kali itu baik, tentu beliau lebih dahulu
mengerjakannya sebagai teladan bagi umatnya.
Ali Mustafa Ya’qub, Profesor Hadis dan Ilmu Hadis dalam bukunya “Haji
Pengabdi Setan” merasa perlu menegur sebagian umat Islam Indonesia yang
kemaruk haji.
Secara formal, menurutnya, mereka melaksanakan haji untuk kedua kali
dan seterusnya adalah sunnah. Namun dalam perspektif kontemporer boleh
jadi haji ulang tidak lagi bernilai sunnah.
Jumlah jamaah haji Indonesia yang tiap tahun di atas 200 ribu, sekilas
memang membanggakan. Akan tetapi bila ditelaah lebih jauh, kenyataan ini
justru memprihatinkan karena sebagian dari jumlah itu sudah beribadah
haji berkali-kali. Dengan fakta ini berarti umat Islam Indonesia
tidaklah miskin. Namun fakta lain juga memperlihatkan kalau angka
kemiskinan di tanah air tetap tinggi. Maka bisa jadi kepergian haji
ulang bukan lagi sunah.
Saat ribuan anak yatim terlantar, sejumlah tempat ibadah rusak,
bangunan pesantren terbengkalai, puluhan ribu orang menjadi tuna wisma
akibat bencana, juga jutaan orang masih berjuang melawan kelaparan, lalu
ada orang pergi haji untuk kedua atau ketiga kali dst, bagaimanapun,
hati nuraninya patut dipertanyakan: apakah hajinya demi melaksanakan
perintah Allah atau karena mengikuti bisikan setan agar di mata orang
awam dianggap saleh?
Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI ini menegaskan, ibadah haji seseorang yang
dimotivasi rayuan setan bukan lagi ibadah, melainkan maksiat dan pada
saat itulah tipologi haji pengabdi setan melekat pada dirinya. Wallahu
a’lam
Penulis adalah Guru PAI dpk pada SDN Kebulen III Jatibarang Indramayu
dan Ketua KKG PAI Kec. Jatibarang. Peraih Juara III Lomba Nasional
Inovasi Pembelajaran PAI SD Tahun 2009 Balai Litbang dan Diklat Depag
RI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar