Senin, 01 April 2013

HOMESCHOOLING: PENDIDIKAN ALTERNATIF DALAM KERANGKA PEMENUHAN HAK ANAK UNTUK MEMPEROLEH PENDIDIKAN

HOMESCHOOLING: PENDIDIKAN ALTERNATIF DALAM KERANGKA PEMENUHAN HAK ANAK UNTUK MEMPEROLEH PENDIDIKAN
Oleh: Ahmad Faozan, S. Ag
(Guru PAI dpk pada SDN Kebulen III Jatibarang Indramayu)
Diposkan oleh Majalah Media Pembinaan Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Jawa Barat, Juli 2008
“Anda tidak harus menjadi guru profesional ketika Anda ingin menyekolahkan putra-putri Anda di rumah. Anak-anak adalah pembelajar alamiah, sementara Anda sendiri sebagai orang tua, adalah guru-guru alamiah”
Sherri Linsenbach
            Pulang sekolah, seorang remaja berusia lima belas tahun --siswa kelas 3 SMP favorit dan berstatus “nasional plus”-- terlihat kecewa dan frustasi.  Bagaimana ia tidak merasa terpukul dan amat sangat kecewa. Ia merasa memiliki potensi unggul di bidang kesenian, namun nilai kesenian yang diperolehnya di sekolah hanya 4, sebuah angka yang dianggap nilai kurang dan angka merah dalam raport.    Bisa ditebak, ia akhirnya “mogok” sekolah.
            Orang tua bingung dibuatnya. Sebagai seorang pendidik, sang ayah tentu tidak menerima begitu saja anaknya tidak sekolah. Apa kata orang nanti, anak seorang pendidik kok tidak sekolah. Tetapi akhirnya sang orang tua dengan bijak mengizinkan sang anak untuk beristirahat dahulu di rumah dan tidak usah sekolah. Sambil mencari informasi tentang kemungkinan kegiatan belajar dilakukan di rumah.
Sang anak tentu senang. Tanpa disadari, ia belajar berbagai hal di luar mata pelajaran yang diajarkan di sekolah. Seperti membuat desain, melakukan kegiatan sosial bersama ayahnya, mengamati perilaku adik-adiknya dan sebagainya.
            Kisah di atas bukan fiksi belaka, tetapi sebuah kisah nyata. Sang anak adalah Minuk, puteri sulung DR. Seto Mulyadi, Psi., M. Si.  Tentu semua orang mafhum, Kak Seto –panggilan populer sang ayah -- adalah seorang psikolog yang mencintai anak-anak dan dunianya. Dan itulah salah satu alasan Kak Seto untuk mencari tahu lalu mendirikan homeschooling di rumahnya.
            Kisah lain datang dari Salatiga Jawa Tengah. Seorang anak tidak mau sekolah karena ingin menjadi penulis. Baginya tiada hari tanpa menulis. Lagi-lagi orang tua merasa heran, mengapa anaknya tidak mau sekolah? Padahal kedua orang tuanya guru. Apa kata dunia? (meminjam istilah dalam film Naga Bonar (Jadi) 2) anak guru tidak bersekolah. Sang anak tetap keukeuh. setiap hari kerjanya membaca buku plus tak tik tak tik tangannya dengan lincah menekan keyboard komputer untuk menulis, impian terbesarnya. Akhirnya kedua orang tuanya sadar, apalagi selama ini mereka selalu menambah wawasan baru tentang pendidikan, pendidikan yang membebaskan dari buku-buku seperti “Quantum Teaching” dan “Revolusi Cara Belajar”.  Andai kita sebagai guru seperti mereka. (baca kisah lengkap sang anak dalam buku yang ditulisnya “Dunia Tanpa Sekolah, 2007) . 
            Lembaga pendidikan kita –sebagian-- ternyata benar-benar memasung anak didik seperti robot-robot kecil. Kecerdasan hanya kognitif logical matematis, prestasi diukur dengan angka-angka.  Masyarakat pun ikut-ikutan latah dan salah kaprah, kalau mau belajar ya cuma di sekolah. Anak yang belajar tidak di sekolah dianggap tidak belajar.
Padahal Allah menciptakan langit bumi beserta isinya agar manusia mau belajar, mengamati, berfikir, dan melakukan berbagai eksperimen. Alam semesta merupakan sumber belajar maha luas yang telah disediakan Sang Kebenaran dan Pemilik Pengetahuan bagi manusia.
What is Homeschooling?
            Homeschooling, istilah ini mungkin masih agak asing di telinga masyarakat Indonesia. Padahal dalam praktiknya sudah lama diterapkan oleh masyarakat –dalam berbagai bentuk pendidikan luar sekolah dan kesetaraan—dan tokoh-tokoh nasional kita. Sebut saja, misalnya KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan kita) dan HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah).
Homeschooling lebih dari sekedar kegiatan bersekolah (baca: belajar) di rumah. Belajar dan memperoleh pendidikan adalah hak anak, bukan kewajiban. Ketika anak tidak dapat belajar di sekolah formal karena tiada biaya atau tak betah sekolah, orang tua dan pemerintah harus mengupayakan pendidikan bagi anak, bagaimanapun caranya. Homeschooling adalah salah satu alternatif yang layak jadi pilihan. Tujuan pokok homeschooling, menurut Kak Seto, adalah memenuhi hak anak dalam memperoleh pendidikan.
            Pelaksanaan homeschooling di Indonesia mendapat konsiderans dalam UU Sisdiknas No. 20 / 2003. Pasal 1 ayat 1 berbunyi: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terrencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
            Dalam Pasal 27 disebutkan bahwa “(1) kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri dan (2) hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan”.
            Undang-undang di atas menegaskan bahwa homeschooling merupakan jalur pendidikan informal di mana hasilnya dapat disetarakan. Menurut Dr. Ella Yulaelawati, Direktur Pendidikan Kesetaraan Dirjen PLS Depdiknas RI, peserta didik jalur informal dapat pindah ke jalur formal atau nonformal dengan alih kredit kompetensi. Apabila ingin mengikuti ujian nasional kesetaraan, hasil belajar siswa homeschooling dapat diakui dari rapor, portofolio, CV (curriculum vitae), sertifikasi, dan berbagai bentuk prestasi lain dan atau tes penempatan.
Dalam kasus di atas, Kak Seto akhirnya mengikutsertakan puterinya dalam komunitas homeschooling setempat yang bernama PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) dan sekaligus kemudian berhasil ikut Ujian Kesetaraan untuk Kejar Paket B. Sedangkan anak dari Salatiga, Izza Ahsin, akhirnya benar-benar keluar dari sekolah dan hanya belajar menulis. 
Homeschooling dapat tetap seiring berjalan dengan sekolah formal. Ada tiga jenis pelaksanaan homeschooling, yakni tunggal, majemuk dan komunitas. Homeschooling tunggal dilaksanakan oleh orang tua dalam satu keluarga tanpa bergabung dengan lainnya. Jenis ini biasanya diterapkan karena ada tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat dikompromikan dengan komunitas lain atau karena alasan jarak tempat tinggal peserta didik dengan komunitas homeschooling lain.
Homeschooling majemuk dilaksanakan oleh dua atau lebih keluarga untuk kegiatan-kegiatan tertentu karena kebutuhan-kebutuhan yang dapat dikompromikan, sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan orang tua masing-masing. Sedangkan komunitas homeschooling adalah gabungan beberapa homeschooling majemuk yang menyusun dan menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok, sarana/prasarana dan jadwal pembelajaran.
Di sisi lain, bahkan  homeschooling pun dapat menjadi sparring partner sekolah formal sebagai homeschooling part time atau afterschool. Anak-anak dapat tetap menjalankan kegiatan belajar di sekolah formal, namun apa yang kurang di sekolah formal dapat dilengkapi dalam pelaksanaan homeschooling.
Karakteristik Homeschooling
            Kegiatan belajar mengajar selama ini memberi kesan anak didik sebagai objek, bukan sebagai subjek belajar. Anak didik “dipaksa” menelan berbagai materi pelajaran  yang diajarkan guru. Guru benar-benar hanya melakukan transfer of knowledge tanpa konsensus dengan anak didik.
Homeschooling menjadikan anak didik sebagai subjek. Anak didik memiliki pilihan untuk menentukan materi yang disukai dan ingin dipelajarinya. Anak didik pun belajar dengan gaya belajar masing-masing, apakah visual, auditorial atau kinestetik.
Dengan menjadikan anak didik sebagai subjek, proses pembelajaran pun dapat berlangsung dengan nyaman dan menyenangkan (joyfull). Tanpa ditekan, diancam atau dipaksa.
Sumber belajar yang digunakan dalam homeschooling juga amat beragam. Anak didik tidak hanya belajar dari guru, tapi dari koran, majalah, nara sumber, film, televisi, perpustakaan, museum, internet, dan segala hal yang ada di lingkungannya. Ia benar-benar belajar di dunia nyata, di alam yang sangat terbuka yang telah diciptakan Allah untuk kesejahteraan manusia. Tidak terbatas oleh dinding-dinding ruang kelas yang serba kaku dan tertutup.
Kunci utama homeschooling adalah fleksibilitas. Berbeda dengan sekolah konvensional yang ada, kegiatan homeschooling tidak terbatas oleh tempat dan waktu. Anak didik pun memiliki alternatif untuk belajar. Pilihan tersebut mencakup where, when, and how to learn. Anak didik dapat menentukan sendiri di mana mereka akan belajar. Mereka bisa belajar di rumah, perpustakaan, laboratorium, tempat kerja, atau di mana saja sesuai pertimbangan mereka sendiri. Waktu belajarpun sangat longgar. Kapan  mereka sempat belajar tergantung pada masing-masing anak didik. Mereka bisa belajar pagi, siang, atau malam hari. Demikian  pula bagaimana mereka belajar. Anak didik dapat menentukan strategi belajar mana yang ingin mereka tempuh dan menentukan target mereka sendiri.
Dengan demikian, dalam homeschooling anak didik dilatih untuk bertanggung jawab terhadap pilihannya sendiri. Anak didik terbiasa dengan pembelajaran mandiri yang melunturkan ketergantungan untuk selalu belajar “tatap muka” dan klasikal dalam frekuensi yang tinggi. Hal ini menguntungkan mereka untuk dapat belajar di mana saja, dengan siapa saja dan dapat memutuskan untuk belajar dalam lingkup komunitas dari skala terbatas hingga yang lebih luas.
Inilah sebenarnya tujuan utama pendidikan. Yakni kemampuan belajar sepanjang hayat (long life education / minal mahdi ilallahdi) melampaui wajib belajar sembilan tahun. Belajar sepanjang hayat ini dapat dicapai apabila anak didik terlatih belajar mandiri dalam hal penguasaan pengetahuan dan keterampilan, pengambilan keputusan dan berinteraksi dengan lingkungannya.     
Homeschooling juga sangat cocok dengan kegiatan belajar kontekstual, yang sekarang lagi digembar-gemborkan pemerintah. Ealaine B. Johnson, penulis Contextual Teaching and Learning, menulis: “ketika seorang anak dapat mengaitkan isi mata pelajaran yang sedang dipelajarinya –seperti matematika, ilmu pengetahuan alam, atau sejarah—dengan pengalaman mereka sendiri, mereka menemukan makna, dan makna memberi alasan kepada mereka untuk belajar”.
Akhirnya, homeschooling mengingatkan atau menyadarkan para orang tua bahwa pendidikan untuk anak-anak tidak dapat dipasrahkan sepenuhnya kepada sekolah formal. Bahkan untuk menanamkan rasa cinta belajar kepada anak sejak dini, hanya orang tualah yang paling layak untuk mewujudkannya. Secara naluriah, anak sejak berada dalam kandungan ibu sudah dilengkapi dengan kemauan kuat untuk belajar. DePorter dalam “Quantum Learning” menyatakan : “ kita dilahirkan dengan rasa ingin tahu yang tak pernah terpuaskan”.
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi”
Nabi Muhammad SAW
DAFTAR BACAAN
Ahsin, M. Izza, Dunia Tanpa Sekolah, Bandung: Read Publishing House, 2007, Cet. I
DePorter, Bobbi, dan Hernacki, Mike, Quantum Learning, Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, Bandung: Penerbit Kaifa, 1999, Cet I
DePorter, Bobbi, et. al., Quantum Teaching, Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas, Bandung: Penerbit Kaifa, 2000, Cet. I
Faozan, Ahmad, Madrasah Tsanawiyah Terbuka di Pondok Pesantren: Suatu Penerapan Teknologi Pendidikan dalam Rangka Pemerataan Kesempatan Belajar,  Skripsi, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2000
Kembara, Maulia D., Panduan Lengkap Homeshooling, Bandung: Progressio, 2007
Mulyadi, Seto, DR., Psi., M.Si., Homeschooling Keluarga Kak Seto, Bandung: Penerbit Kaifa, 2007, Cet. I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar