TERNYATA MEREKA
(JUGA) BISA..
Pembelajaran Bermakna
Menjadi Guru Pengganti
Ketika murid
dapat mengaitkan isi dari mata pelajaran
akademik dengan pengalaman mereka sendiri, mereka menemukan makna dan makna
memberi alasan untuk belajar
(Elaine B
Johnson, Contextual Teaching and Learning)
Perencanaan yang Tidak
Terpakai Lebih Baik daripada Pelaksanaan tanpa Perencanaan
Beberapa hari ini, sekolah saya sedang kekurangan guru.
Ada 2 guru yang mengikuti PLPG
(Pendidikan dan Latihan Profesi Guru), yaitu ibu guru kelas 5 dan 6. Jadilah
teman-teman guru yang masih ada di sekolah mendapat tambahan tugas untuk
mengisi kekosongan di kelas 5 dan 6, termasuk saya.
Suatu hari, saya tidak memiliki
jam tatap muka bidang studi yang saya ampu. Saya masuk ke kelas 5, pelajaran
matematika tanpa lesson plan. Ketika masuk, anak-anak sedang mengerjakan
tugas yang telah diberikan guru lain (ibu guru ini harus meninggalkan kelas
karena mengajar di kelas lain). Mereka mendapat tugas mengisi LKS berbentuk
pilihan ganda. Ada beberapa materi soal yang ditanyakan anak-anak, terutama
soal-soal cerita matematika yang membutuhkan pemecahan masalah.
Saya jadi teringat tulisan Elaine
B Johnson dalam Contextual
Teaching and Learning bahwa “ketika murid dapat mengaitkan isi dari mata pelajaran akademik seperti matematika,
ilmu pengetahuan alam dan sejarah, dengan pengalaman mereka sendiri, mereka
menemukan makna dan makna memberi alasan untuk belajar”. Dalam
kenyataannya, anak-anak ternyata merasa kesulitan mengerjakan materi soal
cerita yang sebenarnya sangat akrab dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Saya coba selidiki buku-buku
catatan siswa. Saya melihat, isi catatan mereka sebagian besar berisi materi
matematika angka-angka, yang tidak mengandung pemecahan masalah. (Mohon maaf
saya berlatar belakang pendidikan di jurusan Kependidikan Islam, jadi jarang
mengotak atik matematika). Maksud saya, misalnya materi yang diajarkan adalah
pangkat dua, saya melihat dalam catatan mereka, mereka seringkali mendapat
tugas mengerjakan materi soal seperti 112
– 82 = ... dan sejenisnya.
Kembali, saya teringat Howard
Gardner, pencetus multiple intelligences. Menurutnya –seperti dikutip
Munif Chatib dalam Gurunya Manusia, 2012:132) kecerdasan
seseorang dapat dilihat dari dua hal. Pertama, kebiasaan seseorang
menyelesaikan masalahnya (problem solving). Kedua, kebiasaan seseorang
menciptakan produk-produk baru yang punya nilai budaya (creativity).
Ternyata kemampuan problem solving dalam matematika tereduksi oleh
soal-soal yang tidak mengandung pemecahan masalah.
Saya coba membantu mereka mengerjakan materi
soal cerita matematika sesuai kemampuan saya (bersyukur sebelum didaulat jadi
guru PAI, dulu pernah mengajar dan menjadi guru kelas juga) dengan mengajak
mereka berpikir, mereview materi yang sudah disampaikan guru kelas.
Selanjutnya, saya mencari
contoh-contoh soal cerita berkaitan dengan materi pangkat dua. Ada 8 soal dalam
buku sumber. Saya membagi soal-soal cerita ini kepada seluruh siswa. Dalam satu
baris berderet, ada 7 sampai 8 siswa.
Saya menunjuk setiap siswa untuk mengerjakan 1 soal cerita. Setiap siswa
yang mendapat tugas mengerjakan soal yang sama nanti akan diminta ke depan kelas secara bersamaan menuliskan cara
pemecahan masalahnya (presentasi).
Dan ternyata.... sebagian besar
siswa bingung bagaimana mengerjakan 1 soal saja. Ya Allah... bagaimana ini??? Setiap
siswa yang mendapat tugas berbeda mengacungkan tangan bertanya bagaimana cara
mengerjakannya. Lagi, saya membimbing mereka mengerjakan tugas yang diberikan.
Ada beberapa siswa yang dapat menyelesaikan dengan baik, ada beberapa siswa yang
hanya menuliskan hasil tanpa menuliskan proses pemecahannya dan sebagian besar
masih dalam kebingungan... termasuk saya, bingung menghadapi anak-anak ini!!! Hingga bel istirahat berbunyi. Anak-anak
bersorak, hore.... mereka bebas dari tuntutan saya mengerjakan soal cerita. Gagallah
rencana meminta siswa untuk mempresentasikan tugas mereka.
Barangkali inilah pentingnya
sebuah perencanaan, pun dalam pembelajaran (dadakan yang saya hadapi). Karena
guru adalah profesi, artinya dia harus profesional dalam bekerja. Profesional
berarti kualitas setiap tahap pekerjaan dapat terukur. Lesson plan
adalah bukti kinerja seorang guru.
Saya ingin kembali masuk ke kelas
ini dan belajar (matematika, materi yang bukan saya ampu) bersama mereka,
mengaitkan materi akademik sesuai dengan pengalaman mereka dan mereka menemukan
makna. Selanjutnya memberi mereka alasan untuk tetap belajar, seperti tulisan
Elaine B Johnson di atas.
Ketika jam istirahat, saya
berdiskusi dengan teman guru tentang kemampuan problem solving dalam
matematika yang tereduksi oleh soal-soal yang tidak mengandung pemecahan
masalah. Matematika diajarkan hanya dalam bentuk angka-angka tanpa makna.
Matematika diajarkan dengan sangat abstrak, padahal sejatinya, ia amat sangat
nyata, kongkret. Nyatanya, guru ini juga merasa kesulitan menghadapi siswa dalam
menyelesaikan materi soal cerita yang mengaitkan materi pembelajaran dengan
kehidupan sehari-hari dan membutuhkan problem solving.
Kecerdasan itu Jamak
Keesokan harinya, giliran kepala
sekolah yang masuk ke kelas lima. Ketika jam istirahat, bapak kepala sekolah
mengeluhkan perilaku beberapa siswa kelas 5 yang selama ini dianggap sebagai trouble
maker di kelas. Saya sudah sering mendengar keluhan guru kelas dan guru
lain yang masuk ke kelas ini menghadapi perilaku siswa, seperti sering menghina
guru, membuat onar di kelas, membuat anak lain menangis, tidak mengerjakan
tugas, dan seabrek perilaku negatif siswa. Padahal, saya juga pada hari
tertentu tiap minggu masuk ke kelas ini dan belajar bersama mereka tanpa
kendala berarti. Bahkan sering mendapatkan moment special dengan
anak-anak spesial ini, seperti kebiasaan mereka menyapa lebih dulu ketika
bertemu, bersalaman, tersenyum, bahkan tambah giat belajar.
Andai kita sebagai guru
menganggap mereka adalah anak-anak istimewa, yang memiliki kemampuan, anak-anak
juara, pada bidangnya masing-masing. Karena, menurut Howard Gardner, kecerdasan
itu jamak. Ia menyebutkan 9 kecerdasan, yaitu: kecerdasan linguistik, matematis logis, visual spasial, musik,
kinestetis, interpersonal, intrapersonal, naturalis dan eksistensial.
Pembelajaran Bermakna,
Ternyata Mereka (juga) Bisa
Kesempatan itu datang lagi. Dua
hari berselang, ketika tidak ada jam tatap muka, saya masuk kembali ke kelas 5,
pas jam tatap muka pelajaran matematika. Tentu, sebelumnya saya sudah merancang
pembelajaran dalam lesson plan. Beberapa bagian lesson plan saya
adopsi dari Munif Chatib, pakar Multiple Intelligences, dalam sebuah
workshop.
Dalam pembelajaran pertama,
judulnya “Rumah Kuat dengan Pondasi Kuat” dengan alokasi waktu 2 x 35 menit.
Setelah membaca doa hendak belajar, saya memulai pembelajaran dengan
menyampaikan tujuan pembelajaran pangkat dua. saya selanjutnya bercerita
tentang seseorang yang hendak membuat rumah. Bagian mana yang pertama kali
dibuat ketika kita membuat rumah?.. saya menuliskan jawaban siswa di papan
tulis. Hingga ada siswa yang menjawab “pondasi”. Aha... tepat. (Doakan bapak ya
anak-anak, juga pembaca, agar bisa segera punya rumah sendiri.. hehe..) Apa
saja yang dibutuhkan dalam mebuat pondasi? Beberapa jawaban meluncur dari mulut
siswa. Pasir, batu bata, semen, air, cangkul, dan lain-lain. Dan terakhir
besi.. yup!! Agar rumah yang kita bangun kuat, maka kita harus membuat pondasi
rumah yang kuat juga. Bagaimana bentuk rangka pondasi yang terbuat dari besi?.
Coba perhatikan gambar di bawah ini!
Berapa jumlah
besi yang digunakan? 4
4
adalah hasil perkalian dari 2 (besi atas) dan 2 (besi bawah) ditulis 2 x 2
2
x 2 dapat ditulis dengan 22
Berapa
jumlah besi yang digunakan? 9
9
adalah hasil perkalian dari 3 (besi atas) dan 3 (besi bawah) ditulis 3 x 3
3
x 3 dapat ditulis dengan 32
Berapa
jumlah besi yang digunakan? 16
16 adalah hasil
perkalian dari 4 (besi atas) dan 4 (besi bawah) tulis 4 x 4
4 x 4 dapat ditulis dengan 42
Pondasi rumah yang menggunakan
besi lebih banyak, akan lebih kuat atau cepat rapuh?
Ya pondasi rumah yang meggunakan
besi lebih banyak akan lebih kuat.
Seandainya kamu mau membuat
rumah, maukah kamu membuat gambar rangka pondasi rumahmu dengan jumlah besi
yang lebih banyak dari gambar di atas?
Ayo membuat rangka pondasi rumah dengan jumlah
sisi besi (atas dan bawah) 6, 7, 8, 9, dan 10.
Wow... ternyata siswa bersemangat
membuat gambar rangka pondasi rumah mereka. Pun anak-anak istimewa kelas ini.
Mereka bersemangat dan berlomba menjadi yang lebih dulu membuat pondasi rumah.
Waktu berjalan. Anak-anak
mengerjakan tugas dengan antusias. Bahkan beberapa anak, termasuk anak-anak
istimewa, membuat lebih banyak lagi gambar rangka besi rumah mereka hingga
jumlah sisi besi 15. Tidak adakah kendala? Tentu, mereka sedang belajar.
Kendala yang dihadapi umumnya dalam menghitung jumlah besi yang digunakan
seluruhnya masih kurang teliti. Setelah dihitung ulang, mereka dapat menghitung
dengan tepat. Dan hingga akhir jam tatap
muka sebelum istirahat, semua siswa sudah menggambar rangka pondasi dengan baik
dan memahami pentingnya pembelajaran pangkat dua. Anak-anak pun menganggap
belajar matematika itu mudah. Semua tersenyum bangga. Alhamdulillah.
Dalam pembelajaran lanjutan, saya
beri judul “Ayo Segera Tutup Jendela dengan Kaca”, alokasi waktu 1 x 35 menit.
Saya memulai bercerita. Setelah kalian membuat gambar pondasi rumah, rumahmu
kini mulai dibangun. Hingga selesailah pembangunan rumah. Rumahmu kini sudah
berdiri. Beberapa bagian rumah ternyata belum tertutup dengan rapat, seperti
jendela. Jendela rumahmu ternyata belum dipasang kaca. Kamu memang sengaja
membuat jendela dengan kaca berbentuk persegi. Masih ingatkah kamu bentuk
persegi? Seorang siswa menjawab, “bentuk datar yang memiliki 4 sisi sama
panjang”. Yups.. Maukah kamu menghitung
luas kaca yang harus dipotong tukang kaca? Coba perhatikan!

dipasang?
Luas
Kaca Persegi = sisi x sisi
=
16 cm x 16 cm
=
162
=
256 cm2
Coba sekarang kamu hitung luas
kaca persegi beberapa jendela yang memiliki panjang sisi berbeda, yaitu, jendela
kedua panjang sisinya 18 cm, jendela ketiga panjang sisinya 21 cm, jendela
keempat panjang sisinya 25 cm.
Respon siswa beragam. Ada siswa
yang meminta membuat jendela lebih banyak, ia anak istimewa itu (wow.. dia
antusias belajar!!). Saya tambah satu lagi, jendela kelima dengan panjang sisi
30 cm. Tapi jendela keempat tidak wajib dihitung karena berada di dalam
ruangan. Ada siswa yang meminta menghitung 1 jendela saja. Saya katakan,
seandainya kamu tidak menutup jendela rumahmu dengan kaca, maka rumahmu rawan
pencurian, karena belum tertutup rapat. Ayo segera hitung luas kaca jendela
persegi yang dibutuhkan untuk menutup rumahmu, sebelum waktu malam tiba.
Anak-anak menghitung luas kaca
jendela persegi yang dibutuhkan untuk menutup rumah mereka. Dan... anak-anak dapat menghitung luas kaca jendela
mereka dengan tepat. Bahkan jendela kelima yang tidak wajib dihitung, tetap
dihitung oleh sebagian besar siswa.
Saya membakar semangat mereka
dengan mengatakan.. ayo waktu malam hampir tiba, sebelum rumahmu rawan
pencurian. Jaga rumahmu dengan baik. Tutup segera jendela yang masih berlubang
dengan kaca. Bahkan, siswa yang sering memiliki nilai akademik rendah pun,
mampu menghitung dengan tepat. Subhanallah...
Saya belajar dari mereka, betapa
pentingnya membangun hubungan emosional dengan siswa kita. Mereka pun mau
belajar dengan kemauan yang tinggi bila kita memberi makna dalam pembelajaran.
Saya mendapati wajah mereka tersenyum bahagia. Bahkan, ketika pembelajaran
usai, semua anak-anak bersalaman. Saya katakan pada salah satu anak istimewa,
“tetap semangat belajar ya!” “siap pak!!!” jawabnya dengan senyum bangga. Saya
mengerti, bukan anak istimewa ini tidak mau mengerjakan tugas. Tetapi bagaimana
tugas-tugas yang mereka kerjakan bermakna bagi mereka.
Mendidiklah dengan Hati
Usai pembelajaran, kembali saya
berdiskusi dengan teman-teman guru dan kepala sekolah. Saya memulai percakapan,
“Pak, tadi anak-anak mau mengerjakan tugas, semuanya, termasuk anak-akan
istimewa”. Pimpinan kami menanggapi, “mungkin tergantung yang menyampaikan ya,
pak!” Maksudnya, tergantung strategi pembelajaran yang digunakan seorang guru
di kelas. Ketika guru menggunakan strategi pembelajaran yang menarik, yang
memantik beragam kecerdasan yangmereka miliki, mengaitkan materi dengan
kehidupan sehari-hari, menyesuaikan gaya mengajar dengan gaya belajar mereka, anak-anak pun akan belajar dengan baik pula.
Seorang ibu guru senior ikut
angkat bicara, “Anak-anak jadi seperti itu (melawan guru dan susah diatur) karena
mereka mendapat perlakuan keras, bentakan, kemarahan. Coba hadapi anak-anak
dengan kelembutan, tidak mungkin mereka berperilaku seperti itu”. Ia membagi
pengalaman mengahadapi anak-anak dengan bijaksana.
Ya, seandainya kita sebagai guru menyadari, bahwa mereka masih anak-anak. Masih
membutuhkan banyak bimbingan dari guru. Tidak sekedar memerintahkan mereka
mengerjakan tugas lalu guru bebas mengerjakan pekerjaan lain di luar kelas. Seharusnya
lah guru menciptakan atmosfer kelas yang ramah.
Sekolah mestinya menjadi “agent
of change” bagi siswanya. Mengubah kondisi negatif siswa secara akademis
dan moral menjadi positif. Karenanya guru dituntut untuk mendidik dengan hati,
membina hubungan belajar mengajar yang akrab dengan siswa. Wallahu a’lam
Jum’at
Sore, 25/10/2013 @
Rumah Singgah
Jatibarang
Indramayu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar